Cerita cinta anakmu, Bunda

Bunda,,,

anakmu tlah dewasa, tlah mencari cinta selainmu, papa, kakaku…

tp tak ku dapatkan seorgpun seperti kalian, kalian yang selalu memberikan ketulusan cinta padaku…

dia pergi lagi bunda, pergi begitu saja tanpa tau hancurnya perasaanku…

kedua kalinya ku rasakan perasaan hancur seperti ini pada orang yang berbeda, tak kusangka bunda. Bagiku dia sangat baik, shaleh dan sederhana, tak kusangka bunda. Tapi dia pergi begitu saja tanpa menyisakan sedikit perasaan sayang padaku… Aku sakit bunda, aku menangis setiap malam, aku tak tau apa yang harus kulakukan…

akupun menjadi tak yakin, apakah aku akan mendapatkan seseorang seperti kalian? apa aku tak pantas untuk dicintai? apa memang belum datang waktunya untukku mengarungi kisah kasih sejati dengan orang lain?

aku masih 19 tahun bunda, tapi mengapa aku begitu ingin mencari seseorang pengisi hidupku yang setia, bukan seorang pacar, bukan sesuatu yang bs terpisahkan hanya dengan kata ‘putus’, ‘udah ga cocok lagi’, ‘udah gbs saling ngerti’, ‘lebih baik kita jalan sendiri2’, ‘kamu belajar dlu aja’, dan beribu alasan lainnya.

bagiku seseorang hanya mencari-cari alasan saja jika dia memutuskan ikatan mereka, karena aku yakin tak ada manusia yang sempurna, tak ada manusia yang sama. Dan jodoh itu dibangun bukan dicari atau dirasakan. Tuhan ciptakan perbedaan kepada setiap umatnya untuk saling mengisi, melengkapi, dan menghargai.

apakah semua prinsipku salah bunda? semua prinsipku ini menjadi menyakitiku, membuatku merasa bodoh, membuatku merasa dunia yang indah hanyalah impian belaka. Bagiku sebuah hubungan ini sama dengan bangunan; bila pintunya saja yang rusak, untuk apa merobohkan bangunannya.

Dia pergi bunda, dia memang tidak melihatku sejak dulu. Tapi karena aku berpegang pada prinsipku maka ku pertahankan semuanya dan ku mencoba bersabar dengan penuh penantian kembalinya dirinya. Dia yang selalu meyakinkan ku bahwa dia hanya sedang ingin menyelesaikan tugasnya pada orang tuanya. Aku hargai keinginannya bunda dan aku menantinya setiap hari. Aku memang tdk bs membantu apa2 padanya, aku hanya mahasiswi semester 4 yg ilmunya sangat jauh dibandingkan dia. Aku hanya bisa mengingatkan dia untuk shalat, makan, minum, tidur, jaga kesehatan, pulang jgn kemaleman. Aku sangat takut mengganggunya, namun aku cuma manusia bunda yang sesekali ingin dia perhatikan dan membuat ulah sampe2 yg muncul hanya pertengkaran.

Begitulah bunda, cinta ku padanya hanya berada diantara diam dan bertengkar. Memang tidak indah, tapi selalu ku pertahankan dengan harapan suatu saat cinta ku berada diantara tertawa dan bahagia bersamanya. Tapi sebelum semuanya datang, dia pergi bunda. Sangat sakit memang, tapi rasa sakit itu tdk cukup untuk membuatku membenci dia. Aku bukan orang yg pemarah dan pendendam (semua ini berkat didikanmu), tapi terkadang aku merasa ini adalah kelemahanku karena aku jd hanya bisa menangis, diam, putus asa, tertekan dan ingin mengakhiri hidup ketika seseorang menyakitiku.

Sekarang aku harus bangkit bunda, teman-teman baruku telah setia menemaniku disaat ku terjatuh dan kesakitan kemarin. Mereka membuatku merasa harus tetap bertahan menjalani hidup ini karena semua kesakitanku hanyalah sebuah proses. Ku kenalkan bunda, mereka Rike Rachmayati, Sarah Dewanti Purborini, Ulva Zena Hidayat, dan Eva Ayu Aprelia. Mereka menemaniku menangis di toilet kampus dan sangat lama bunda, memang konyol anakmu ini tapi mereka tetap menemaniku. Setelah itu mereka menghiburku di kosan temanku sampai sore, mereka mengorbankan waktu mereka padahal saat itu kami sedang UAS.

Bunda,,,

Suatu saat nanti aku ingin mencintai seseorang dengan memberikan ketulusan yang sesungguhnya agar aku tidak pernah merasa sakit lagi ketika ternyata dia tidak bisa mencintaiku, menjaga perasaanku dan tidak bisa menerimaku. Sampai kutemukan “DIA” yang benar2 ingin menjadikan aku jodohnya dan membangun cinta bersamaku beserta bunda, papa, dan kakaku.

Ajari aku bunda, ajari aku ketulusan yang seperti itu agar anakmu tak menangis lagi, tak terdiam lagi, tak putus asa lagi dan tetap menjadi dirinya sendiri.

This entry was posted in diary. Bookmark the permalink.

Leave a comment